BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penerbitan buku-buku
Islami merebak sedemikian hebat. Majalah-majalah Islam tiap bulan terbit dalam jumlah yang mencengangkan. CD audio-visual Islami pun tak kalah ramai diproduksi. Da'i-da'i dadakan bermunculan di publik. Banyak kalangan yang menuding ini semua adalah tindakan yang tercela sebab ini semua adalah bentuk menjual agama Islam dengan harga yang murah. Mencari harta dengan menjual ayat-ayat Al-Qur`an.
Kontradiksi,
Benarkah? Sebagian dari kita masih rancu akan hukum mendapatkan
harta dari berdakwah, berceramah,
berkhuthah, mengajar Al-Qur`an dan hadits, memproduksi kitab-kitab Islami maupun CD audio-visual Islami, mendistribusikannya, dan
sebagainya. Dan memang terdapat kontroversi
yang cukup kuat.
Oleh karena itu, makalah ini akan berusaha mengupas
mengenai upah atas perbuatan taat (Ujroh Ala at-Tho’ah) yang semacam itu
dengan melakukan tinjauan baik dari segi syar’i maupun secara sosiologis.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan kami bahas beberapa pokok pembahasan
dengan urutan sebagai berikut :
A. IJARAH DALAM ISLAM
- Pengertian Ijarah
- Dasar Hukum ijarah
B. AL-UJRAH ALA AT-THO’AH
- Pengertian Al-Ujrah Ala At-Tho’ah
- Hukum dan Pendapat Ulama’ mengenai pengambilan ujrah Atas Perbuatan Taat
- Dampak Pengambilan Ujrah (Upah) atas Kegiatan Dakwah atau Pendidikan Agama yang Berlangsung di Kalangan Masyarakat Terhadap Agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
(AL-UJROH ALA AT-THO’AH)
A. IJARAH DALAM ISLAM
1) Pengertian
Ijarah
Secara bahasa, ijarah
digunakan sebagai nama bagi al-ajru yang berarti "imbalan terhadap suatu
pekerjaan" (الجزاء على العمل) dan "pahala" (الثواب).[1] Dalam
bentuk lain, kata ijâraħ juga biasa dikatakan sebagai nama
bagi al-ujrah yang berarti upah atau sewa (الكراء). Selain
itu, menurut al-Ba'liy, arti kebahasaan lain dari al-ajru tersebut, yaitu
"ganti" (العوض), baik ganti itu diterima dengan didahului oleh akad
atau tidak.[2]
Secara istilah, ijarah adalah suatu transaksi (akad) yang objeknya
adalah manfaat atau jasa yang mubah dalam syariat dan manfaat tersebut jelas
diketahui, dalam jangka waktu yang jelas serta dengan uang sewa yang jelas.[3]
Ijarah ada dua macam. Pertama, ijarah
dengan objek transaksi benda tertentu semisal menyewakan rumah, kamar kost,
menyewakan mobil (rental mobil, taksi, bis kota dll). Kedua, ijarah
dengan objek transaksi pekerjaan tertentu semisal mempekerjakan orang untuk
membangun rumah, mencangkul kebun dll.
2) Dasar Hukum Ijarah
Ibn Rusyd[4] menegaskan
bahwa semua ahli hukum, baik salaf maupun khalaf, menetapkan
boleh terhadap hukum ijâraħ. Kebolehan tersebut didasarkan pada landasan hukum yang sangat kuat
yang dapat dilacak dari Al-Qur'an dan Sunnah, antara lain yaitu :
...وإن
أردتم أن تسترضعوا أولادكم فلا جناح عليكم إذا سلمتم ما آتيتم بالمعروف...
Artinya: …”Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut”…. (QS. Al-Baqarah :233)
قال إني أريد أن أنكحك إحدى ابنتي هاتين على أن
تأجرني ثماني حجج فإن أتممت عشرا فمن عندك وما أريد أن أشق عليك ستجدني إن شاء
الله من الصالحين
Artinya: Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan
kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah
(suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu
Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik." (QS. Al-Qhashash
: 27)
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال حجم أبو طيبة
رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمر له بصاع من تمر وأمر أهله أن يخففوا من
خراجه(رواه البخاري ومسلم وأحمد)
Artinya: "Dari Anas bin
Malik ra., ia berkata: Rasulullah SAW berbedakm dengan Abu Thayyibah. Kemudian
beliau menyuruh memberinya satu sha' gandum dan menyuruh keluarganya untuk
meringankannya dari beban kharâj" (HR. Al-Bukhâriy,
Muslim, dan Ahmad).
عن عبد الله بن عمر قال قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم أعط الأجير أجره قبل أن يجف عرقه (وراه ابن ماجة)
Artinya: "Dari Abdullah
bin 'Umar, ia berkata: "Telah bersabda rasullah: "Berikanlah upah
pekerja sebelum keringatnya kering". (HR. Ibn Mâjaħ)
B. Al-Ujrah Ala At tho’ah
I)
Pengertian Al-Ujrah Ala At tho’ah
Selain disebut ujraħ,
upah atau sewa dalam ijâraħ terkadang juga disebut
dengan al-musta`jar fih (المستأجر فيه), yaitu;
المال
الذي سلمه المستأجر للأجير لأجل إيفاء العمل الذي ألتزمه بعقد الإجارة
Artinya: Harta
yang diserahkan pengupah kepada pekerja sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan
yang dikehendaki akad ijâraħ.[5]
Ujroh
ala at-tho’ah yaitu upah
yang diberikan kepada orang yang disewa atau diburuhkan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang tergolong dalam kategori ibadah.
Salah satu syarat dari akad ijarah adalah perbuatan yang di-ijâraħ-kan bukan perbuatan yang fardhu ain atau diwajibkan bagi musta'jir (penyewa) sebelum akad dilaksanakan, seperti shalat, puasa dan sebagainya.[6] Hal ini berarti memburuhkan orang untuk melakukan ibadah fardhu ‘ain adalah haram. Akan tetapi Imam Syafi’i membolehkan mengupahkan orang untuk melakukan ibadah haji, dengan syarat orang yang mengupahkan memiliki kesanggupan secara material tapi tidak sanggup secara fisik melakukannya sendiri.[7] Sedangkan status upah atas perbuatan taat atau ibadah yang tergolong sunah adalah yang diperselisihkan hukumnya di kalangan ulama’. Sebagai contoh yang tergolong dalam kategori ini (yang diperselisihkan hukumnya) adalah upah atas muadzin, imam sholat, khotib, pengajar al-qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam, penceramah, penulis buku, dan sebagainya.
Salah satu syarat dari akad ijarah adalah perbuatan yang di-ijâraħ-kan bukan perbuatan yang fardhu ain atau diwajibkan bagi musta'jir (penyewa) sebelum akad dilaksanakan, seperti shalat, puasa dan sebagainya.[6] Hal ini berarti memburuhkan orang untuk melakukan ibadah fardhu ‘ain adalah haram. Akan tetapi Imam Syafi’i membolehkan mengupahkan orang untuk melakukan ibadah haji, dengan syarat orang yang mengupahkan memiliki kesanggupan secara material tapi tidak sanggup secara fisik melakukannya sendiri.[7] Sedangkan status upah atas perbuatan taat atau ibadah yang tergolong sunah adalah yang diperselisihkan hukumnya di kalangan ulama’. Sebagai contoh yang tergolong dalam kategori ini (yang diperselisihkan hukumnya) adalah upah atas muadzin, imam sholat, khotib, pengajar al-qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam, penceramah, penulis buku, dan sebagainya.
2) Hukum dan Pendapat Ulama’ mengenai pengambilan
ujrah Atas Perbuatan Taat
Ada perbedaan dalam klasifikasi ulama’ soal upah atas perbuatan taat,
khususnya yang berhubungan dengan dakwah Islam. Sebuah disertasi di UIN tentang
upah dai ini telah ditulis oleh Dr Harjani Hefni (2010) dan dia membaginya ke
dalam dua kategori. Upah kerja dakwah yang disepakati kebolehannya dan ada yang diperselisihkan oleh ulama’.Yang
diperbolehkan adalah seperti amil zakat, kadi (hakim),bahkan
penerima ganimah. Hal seperti ini tentu dinilai sangat patut
karena memang ada dalil Al-Quran dan
hadisnya. Namun, ada juga yang upahnya diperselisihkan, seperti muadzin, imam masjid, khotib, guru mengaji,
guru baca al-qur’an/pembaca doa,
pengurus jenazah, penceramah, dan penulis
buku. Ini
diperselisihkan karena tidak ada penjelasan Al-Qur’an dan hadits secara qat’i.
Dengan demikian, memerlukan istinbath hukum. Tentu
masing-masing ulama’ mempunyai
pandangan berbeda-beda. Sebagian Ulama’
mengharamkan, sebagian yang lain
menghukumi makruh, ada pula yang memperbolehkan.[8]
Ulama’ yang memberi hukum haram
ataupun makruh berdalil bahwa ketaatan tersebut merupakan perbuatan dan
perintah khusus untuk setiap umat Islam, sehingga mengambil upah dalam perbuatan
taat atau ibadah hukumnya adalah haram. Ulama’ yang mengharamkan penerimaan
upah bagi seorang muadzin berdalil pada sabda Nabi:
عن عثمان بن أبي العاص قال إن من آخر ما عهد إلى
رسول الله صلى الله عليه وسلم أن اتخذ مؤذنا لا يأخذ على أذانه أجرا (رواه الترمذي
وابن ماجة)
Artnya :”Dari Utsman bin
Abi al-'Ash, ia berkata: "Sesungguhnya di antara persoalan terakhir yang
dipesankan Nabi SAW adalah: 'Angkatlah mu'azzin, tapi jangan ia mengambil upah
atas azannya". (HR. al-Turmudziy dan Ibn Mâjaħ).
Ibn 'Abidin[9] menyebutkan
bahwa ulama’ mutaakhirin dari kalangan Hanafiyyah membolehkan memberi
upah dalam pekerjaan yang berhubungan dengan ketaatan seperti itu. Ulama’
Malikiyyah memandang perbuatan seperti ini sebagai perbuatan makruh. Ulama’
Hanabilah[10] terbagi
menjadi dua bagian, sebagian menyatakan tidak boleh memberi upah perbuatan
seperti ini, tetapi sebagian lain menganggap boleh, di antaranya adalah Abu
Ishaq bin Syaqil.
Adapun mengenai hukum menerima upah
atas pengajaran Al-Qur’an atau ilmu-ilmu Islam maupun dakwah Islam di
kalangan Ulama’ juga terjadi Perbedaan pendapat (Ikhtilaf). Ada yang
menetapkan boleh, ada juga yang menetapkan tidak boleh.
Argumen - argumen syar’i
yang digunakan oleh pihak yang menetapkan haram menerima
atau mengambil upah dalam mengajarkan Al-Qur’an, ilmu-ilmu agama Islam dan
dakwah Islam antara lain[11] :
Satu. QS. Asy Syuara’ ayat 109 :
Artinya : “ dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas
ajakan-ajakan itu; Upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam”.
Dua. QS. Yunus ayat 72 :
Artinya: “Jika kamu
berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu.
Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku
Termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)".
Tiga.
Nabi Muhammad bersabda:
من َأخذعَلى تعليم اْلُقرآن َقوسا َقلَّده اللهُ َقوسا من نَار يوم
اْلقيامة
Artinya:"Barangsiapa
mengambil sebuah busur saja sebagai upah dari mengajarkan Al-Qur`an,
niscaya Allah akan mengalungkan kepadanya busur dari api neraka pada hari qiyamah."
(Hadits
ini shahih diriwayatkan dalam Sunan Al-Baihaqi 6/126. Dishahihkan Al-‘Allamah
Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 256.)
Empat.
'Imran bin Hushain melihat seorang qari` sedang membaca Al-Qur`an
lalu meminta upah. Beliau lantas mengucapkan istirja', kemudian berkata: “Rasulullah
bersabda”:
من َقرَأ الُقرآن َفْليسَأل اللهَ ِبه َفِإنه سيجيءُ َأْقوام يقرؤون اْلُقرآن يسَأُلون ِبه الناس
Artinya:"Barangsiapa
membaca Al-Qur`an, hendaklah ia meminta pahalanya kepada Allah. Sesungguhnya
akan datang beberapa kaum yang membaca Al-Qur`an, lalu meminta upahnya kepada
manusia."
(Hadits
ini shahih li ghairihi diriwayatkan dalam Sunan At-Tirmidzi no. 2917; Musnad
Ahmad 4/432-433,436,439;
Syarh As-Sunnah, Al-Baghawi no. 1183. Dinyatakan shahih li ghairihi oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 257).
Lima.
Rasulullah bersabda:
تعلَّموا
اْلُقرآن وسُلوا اللهَ ِبه اْلجنَة َقبل
َأن يتعلَّمه َقوم يسَأُلون ِبه الدنيا َفإنَّ اْلُقرآن يتعلَّمه َثلاَثٌة رجل يباهي ِبه ورجلٌ يستْأ ُكل ِبه ورجل يقرأه للهِ
Artinya:"Pelajarilah
Al-Qur`an, dan mintalah surga kepada Allah sebagai imbalannya. Sebelum
datang satu
kaum yang mempelajarinya dan meminta materi dunia sebagai imbalannya.
Sesungguhnya ada tiga jenis orang yang
mempelajari Al-Qur`an. Orang yang mempelajari Al-Qur`an untuk membangga-banggakan
diri dengannya; orang yang mempelajarinya untuk mencari makan; orang
yang mempelajarinya karena Allah semata."
Sedangkan dalil pihak yang mengatakan halalnya menerima dan
mengambil upah dari mengajarkan Islam di antaranya:
Satu. Nabi Muhammad
bersabda:
إن أحق ما
َأخذتم عَليه َأجرا كتاب اللهِ
Artinya: "Sesungguhnya
perkara yang paling berhak kalian ambil upah darinya adalah Kitab Allah." [Shahih:
Shahih Al-Bukhari no. 5737]
Dua. Nabi Muhammad
pernah menikahkan seorang pria dengan mahar hafalan Al-Qur`annya.
“Dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi, “Suatu ketika seorang wanita datang kepada
Rasulullah, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan
diriku kepadamu,” Lalu beliau memandang perempuan itu dengan penuh perhatian,
kemudian menundukkan kepalanya. Setelah
perempuan itu mengerti bahwa beliau tidak ingin menikahinya, maka ia pun duduk.
Kemudian salah seorang dari sahabat berdiri, dan berkata, “Ya Rasulullah!
jika engkau tidak ingin menikahi perempuan itu, maka nikahkanlah dia dengan
saya.” Lalu beliau bertanya, "Apakah kamu memiliki sesuatu sebagai mahar
(maskawin)?” laki-laki itu menjawab, "Demi Allah, saya tidak punya, wahai
Rasulullah!" Rasulullah berkata, "Pergilah kepada keluargamu lalu
carilah apakah ada sesuatu yang bisa kamu jadikan sebagai mahar.” Laki-laki itu kemudian pergi dan kembali lagi, dia berkata, “Demi Allah, aku
tidak menemukan sesuatu pun untuk mahar.” Rasulullah berkata, “Carilah meskipun hanya
berupa cincin besi.”
Laki-laki itu pergi lagi, lalu
kembali, seraya berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah. Saya
tidak menemukan sesuatu pun walaupun sebuah cincin besi, tetapi saya hanya
memiliki kain
sarung ini. (kata Sahl, ia tidak memiliki pakaian bagian atas), separuhnya bisa
aku berikan
kepada wanita itu sebagai mahar.” Rasulullah bertanya, “Bagaimana kamu bisa menggunakan
kain sarungmu itu? Jika kamu memakainya maka perempuan itu tidak bisa memakainya,
dan jika dia memakainya kamu tidak bisa memakainya.”
Laki-laki itu duduk. Setelah lama
duduk kemudian dia berdiri. Rasulullah melihat dia berbalik,
maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggilnya. Ketika dia datang, maka
Rasulullah bertanya, “Apa yang kamu miliki (hafal) dari Al-Qur'an?” Dia menjawab, “Aku hafal
surah ini dan itu.” (Dia menghitung-hitungnya). Lalu Rasulullah berkata, “Kamu
dapat menghafalnya
di luar kepala?” Dia berkata, “Ya.” Kemudian Rasulullah berkata, “Pergilah, sesungguhnya
aku telah menikahkanmu dengan wanita itu dengan apa yang kamu hafal dari Alqur'an.”
(Hadits
ini shahih diriwayatkan dalam Shahih Muslim. Dishahihkan Al-Albani dalam Mukhtashar
Shahih Muslim no. 824.)
Dari dua pendapat ini, yang rajih/kuat/benar karena dalilnya dan istinbath-nya
(penyimpulan dalilnya) lebih rasional, adalah pendapat halalnya menerima dan
mengambil upah dari mengajarkan Islam, namun tetap diharamkan meminta maupun
mengharap upah atas mengajarkan Islam atau membaca (melantunkan) Al-Qur`an.[12]
Setelah menafsirkan ayat ke 20 dan 21 dari surah Yasin, Asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-'Utsaimin berkata, "Jika mengajar, yang seorang itu
membutuhkan waktu, tenaga, fikiran, kelelahan, tidak apa-apa dia mengambil upah
dengan dasar hadits Nabi, "Sesungguhnya perkara yang paling berhak kalian
ambil upah darinya adalah Kitab Allah." Al-Khatib Al-Baghdadi dalam
Al-Faqih wa Al-Mafaqqih 2/347, (yang ditahqiq 'Adil bin Yusuf Al-‘Azazi)
menjelaskan, kalau seorang da'i tidak mempunyai mata pencaharian yang memadai,
dan waktunya habis untuk mengajar dan berda'wah, maka diperbolehkan menerima
upah. Dan kepada ulil amri (penguasa, pemerintah) selayaknya
memberikan imbalan yang setimpal, karena dia mengajarkan kaum muslimin.
3) Dampak Pengambilan Ujrah (Upah) atas Kegiatan Dakwah atau
Pendidikan Agama yang Berlangsung di Kalangan Masyarakat
Terhadap Agama Islam.
Para ulama
dahulu (ulama mutaqaddimin) mengharamkan pengambilan
upah dari mengajar Al-Quran dan ilmu
agama. Pengharaman ini didasarkan kepada firman Allah : “Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan dari
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua
(makhluk) yang dapat melaknati.” (QS Al Baqarah 159).
Ayat di atas
memerintahkan agar ilmu itu disebarkan dan tidak boleh disembunyikan, sehingga pengambilan upah atasnya adalah haram. Namun
para ulama mutaakhirin menghalalkan
pengambilan upah terhadap pekerjaan mengajar syariat Allah. Apa alasan mereka ? Mereka melihat
bahwa manusia sudah mulai memandang ringan dan meremehkan pendidikan agama,
serta mengabaikannya. Mereka senantiasa
menyibukkan diri dengan urusan-urusan dunia serta hanyut dengan kemaksiatan dan
kemewahan. Kesibukan ini sudah tentu akan memalingkan mereka dari mempelajari
Kitabullah dan ilmu-ilmu agama. Ini akan mengakibatkan pupusnya
penghafal-penghafal Al-Qur’an dan
lenyapnya ilmu-ilmu agama dari dada orang Islam, secara perlahan-lahan. Apalagi
upaya musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam
(baik dari dalam maupun dari luar) sudah sangat mengkhawatirkan. Dengan
situasi begini, para ulama mutakhirin memfatwakan
“boleh” mengambil upah/gaji dari pekerjaan mengajar Al-Qur’an dan
ilmu-ilmu agama. Malahan sebagian dari mereka mengatakan bahwa mengambil
upah/gaji dari mengajar agama adalah wajib bagi para pemelihara ilmu agama.[13]
As-Shabuni
berpendapat, ilmu-ilmu syariat hampir saja tidak memperoleh
perhatian kendati fatwa ulama' mutaakhirin tentang
bolehnya mengambil upah mengajar itu telah diambilnya. Apalagi kalau kita
mengambil pandangan ulama’ mutaqaddimin yang melarang
pengambilan pelbagai macam upah(mengajar)? Dengan begitu maka tidak akan ada
lagi orang yang mengajarkan (ilmu-ilmu agama dsb) dan yang belajar. Inna
lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Meskipun
menerima dan mengambil harta dari mengajarkan Islam hukumnya halal, akan tetapi
dalam mengajarkan Islam harus ikhlas hanya karena Allah dan hanya berharap upah dari
Allah. Dengan dihalalkannya perkara ini, perkara ini menjadi ujian keikhlasan
para juru da'wah. Bisa jadi sang juru da’wah
bisa lulus dari ujian ini. Namun ada pula juru da'wah yang menjadi
tidak ikhlas karena diperbolehkannya mengambil harta dari mengajarkan Islam. Apalagi
di zaman seperti ini, zaman yang kata orang susah mencari uang. Maka
"profesi"
ustadz lah yang menjadi cara jitu mendapatkan harta dengan cara
yang mudah. Padahal beramal dengan tujuan mendapatkan kenikmatan dunia hukumnya haram.
Nabi Muhammad bersabda:
من تعلَّم
عْلما
مما يبتغى ِبه وجه اللَّه عز وجلَّ َلا
يتعلّمه ِإلَّا ليصيب به عرضا من الدنيا َلم يجد عرف اْلجنة يوم اْلقيامة يعِني ريحها
Artinya :"Barangsiapa
menuntut ilmu yang seharusnya ia tuntut semata-mata karena agar bisa melihat wajah
Allah, namun ternyata ia menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka dia
tidak akan dapat mencium wanginya surga pada hari qiyamah."
(Hadits
ini shahih diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud no. 3664; Musnad Ahmad
2/338;Sunan Ibnu Majah no. 252; Al-Mustadrak Al-Hakim 1/85).
Ibnu Jama'ah Al-Kinani menasehatkan, "Hendaknya seorang yang berilmu
membersihkan ilmunya dari menjadikannya sebagai jalan mencapai tujuan-tujuan
duniawi, baik untuk mencari kehormatan, harta, ketenaran, atau merasa lebih
hebat dari teman-temannya."[14]
Selanjutnya, bagaimana mengenai sebagian orang yang diminta untuk ceramah
agama di suatu tempat lalu ia meminta/tawar-menawar upahnya, kalau setuju, maka jadilah ceramah itu. Kalau tidak, maka disuruh mencari ustadz lain
yang harganya cocok? Tentu saja perbuatan seperti itu sangat tidak etis
dilakukan oleh seorang juru dakwah. Sebab da’wah tidak boleh dikaitkan dengan
upah dan honor. Da’wah adalah kewajiban yang ada di pundak setiap muslim, baik
da’wah dalam bentuk ceramah atau dalam bentuk-bentuk yang lain. Seorang
penceramah yang memasang tarif tertentu kepada pengundangnya, tentu saja nilai
keberkahannya kurang. Bisa menimbulkan kebingungan di mata orang, apakah penceramah
ini berniat untuk da’wah atau mau
cari uang? Apalagi sampai menolak
undangan ceramah hanya semata-mata karena honor yang dijanjikan tidak
disepakati, sampai disuruh mencari ustadz lainnya, maka sangat terasa sekali
betapa semua itu dikomersilkan. Seolah jasa seorang penceramah agama itu
disamakan dengan jasa penghibur, penyanyi, pelawak dan sejenisnya.
Lucunya lagi, terkadang
ada semacam pentarifan nilai amplop di kalangan mereka. Kalau ustadz yang
diundang itu lumayan ngetop, karena sering muncul di TV misalnya, maka
amplopnya harus lebih besar, tapi kalau ustaznya ‘anonmim’, tidak
terkenal, maka amplopnya bisa jadi ala kadarnya. Terkadang
ukurannya bukan lagi level ilmu dan kemampuannya, tetapi ngetop tidaknya sang
ustadz. Dan bisa jadi ustadz itu malah
dari kalangan mereka yang dari segi ilmunya sangat sedikit, tapi orang-orang
terkadang tidak peduli dengan semua itu. Karena semangatnya mungkin bukan lagi
menimba ilmu, tapi semangat popularitas, gengsi dan sejenisnya. Misalnya, kalau
suatu masjid bisa mendatangkan ustaz ‘x’ yang sedang ngetop, maka ‘gengsi’
pengurus masjid itu akan naik. Walaupun untuk itu mereka harus merelakan harga
amplop yang jutaan rupiah.
Memang para ustadz itu umumnya
tidak pasang tarif, tetapi ada juga satu dua yang melakukan hal itu meski tidak
secara langsung. Terutama yang sudah go public tadi, mereka bahkan
menggunakan semacam ‘manager’ bak para artis mau diundang ke suatu
pertunjukan. Nah, para ‘manager’ inilah yang menentukan nilai itu meski
pun juga tidak sevulgar para selebriti. Akhirnya jadilah profesi ustadz ini layaknya
para artis yang ‘pasang tarif’ untuk ceramahnya, bermobil mewah, rumah
megah, harta bertumpuk dan segenap kemewahan lainnya. Tentu saja prilaku ini
merupakan hak masing-masing orang, karena pada dasarnya apa yang dimilikinya
itu sah, karena bukan harta hasil curian. Semua itu
merupakan jerih payah mereka juga.
Kalaupun ada yang perlu dikritisi, barangkali semangat
kebersamaan dan kesederhanaan mereka, Karena mereka hidup di negeri yang
mayoritas penduduknya sangat miskin dan hampir mati kelaparan. Seyogyanya
penampilan mereka mencerminkan kesederhanaan dan keprihatinan juga. Karena
harta yang banyak dan berlimpah itu pastilah juga akan dimintai
pertanggung-jawaban di akhirat kelak.
Tapi perlu dipahami bahwa fenomena itu tentu saja tidak bisa digeneralisir,
bahwa setiap ustadz pasti berperilaku demikian. Masih banyak para ustadz
lain yang bersahaja, sederhana, rizqinya hanya ngepas buat makan saja,
kemana-mana naik bus kota, hujan kehujanan dan panas kepanasan. Padahal bisa
jadi ilmu yang mereka miliki jauh lebih tinggi dan lebih dalam dari pada ustadz
yang ber-BMW. Tapi semua kita kembalikan saja kepada Allah. Dan buat para ustadz
yang sudah lumayan ‘gemuk’, mintalah fatwa kepada nurani anda sendiri. Karena
nurani anda itu jauh lebih jujur dan lebih bisa anda dengar ketimbang melalui
mulut orang lain.[15]
(Allahu A’lam Bi As-Showaab)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ujroh ala at-tho’ah yaitu upah yang diberikan kepada orang yang disewa atau
diburuhkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tergolong kategori ibadah.
Status upah atas perbuatan taat atau ibadah yang tergolong sunah adalah yang
diperselisihkan hukumnya di kalangan ulama’. Sebagai contoh yang tergolong
dalam kategori ini (yang diperselisihkan hukumnya) adalah upah atas muadzin,
imam sholat, khotib, pengajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam,
penceramah, penulis buku, dan sebagainya. Meskipun jumhur ulama’ memperbolehkan
mengambil upah atas perbuatan taat, khususnya yang berhubungan dengan dakwah
islam, akan tetapi dalam mengajarkan Islam harus ikhlas hanya karena Allah dan hanya berharap
upah dari Allah. Dengan
dihalalkannya perkara ini, perkara ini menjadi ujian keikhlasan para juru da'wah.
Bisa jadi sang juru da'wah bisa lulus dari ujian ini. Namun ada pula juru
da'wah yang menjadi tidak ikhlas karena diperbolehkannya mengambil harta dari
mengajarkan Islam.
B.
REFERENSI
- Muhammad bin Mukram bin Manzhur, Lisan al-'Arab, (Beirut: Dar Shadir)
- Al-Sayyid al-Bakriy bin al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathiy, I'anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr)
- Muhammad bin Ahmad bin Muhamamd bin Rusyd , Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dâr al-Fikr)
- Ahmad bin 'Ali al-Raziy al-Jashshash, al-Jami' li Ahkâm al-Qur`ân, (Beirut: Dâr Ihya` al-Turats al-'Arabiy, 1405 H)
- Muhammad bin Idris al-Syafi'iy, al-Umm, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1393 H)
- Muhamamd Amin (Ibn 'Abidin), Hasyiyah Radd al-Mukhtar 'Ala al-Durr al-Mukhtar (Hasyiyah Ibn 'Abidin), (Beirut: Dar al-Fikr)
- Ahmad bin 'Abd al-Halim bin Taymiyyah al-Haraniy, Syarh al-'Umdah, (Riyad: Maktabah al-'Abikan, 1413 H)
- Ibnu jama’ah Al-Kinani “Tadzkirah As-Sami' wa Al-Mutakallim fi Adab Al-'Alim wa Al-Muta'alim
- Jam’iyyah, Al-Majallah
- Brilly Rasheed “Haramkah upah dakwah?”, QUANTUMFIQIH.WORDPRESS.COM
- http://pengusahamuslim.com/transaksi-ijarah-1472
- http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/06/17/m5quob-prof-andi-faisal-bakti-dai-pasang-tarif-bisa-mengurangi-esensi-dakwah
- http://muslimabipraya.wordpress.com/2008/01/24/hukum-mengambil-upah-dari-mengajar-ilmu-agama/
- http://www.rumahfiqih.com/ust/e2.php?id=1165488579&title=dakwah-meminta-upah
Download File nya disini,
[2] Al-Sayyid
al-Bakriy bin al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathiy, I'anah
al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr), Juz 3, hal. 109
[4] Muhammad bin
Ahmad bin Muhamamd bin Rusyd , Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dâr
al-Fikr), Juz 2, hal. 165-166
[5] Jam’iyyah, Al-Majallah, hal.80
[9] Muhamamd Amin (Ibn 'Abidin), Hasyiyah
Radd al-Mukhtar 'Ala al-Durr al-Mukhtar (Hasyiyah Ibn 'Abidin), (Beirut:
Dar al-Fikr), Juz 7, hal. 265
[10] Ahmad bin 'Abd al-Halim bin Taymiyyah
al-Haraniy, Syarh al-'Umdah, (Riyad: Maktabah al-'Abikan, 1413 H),
Juz 2, h. 240
[12]
Brilly Rasheed.Op.Cit.hal.5
[14] Ibnu jama’ah Al-Kinani “Tadzkirah As-Sami' wa Al-Mutakallim
fi Adab Al-'Alim wa Al-Muta'alim hal.48
Masya allah la quwwata illa billah. bagus, semoga saya teman saudar, bisa mengambil pelajaran dari isi tulisan ini. Masyarakat pun mendapat pendidikan khususnya dai dan para pengajar agama. Mga allah mencatatnya sebagai amal ikhlas yg diterima Allah.
ReplyDeleteJazakumullahu khoiran katsiran, pencerahan buat saya. Moga tulisannya ditimbang sbg amal saleh yang diterima Allah SWT
Deleteaaaminn. semoga bermanfaat. ^_^
Delete