Saturday, November 10, 2012

MENGAMBIL UPAH DARI MENGAJARKAN AGAMA ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Penerbitan buku-buku Islami merebak sedemikian hebat. Majalah-majalah Islam tiap bulan terbit dalam jumlah yang mencengangkan. CD audio-visual Islami pun tak kalah ramai diproduksi. Da'i-da'i dadakan bermunculan di publik. Banyak kalangan yang menuding ini semua adalah tindakan yang tercela sebab ini semua adalah bentuk menjual agama Islam dengan harga yang murah. Mencari harta dengan menjual ayat-ayat Al-Qur`an.
Kontradiksi, Benarkah? Sebagian dari kita masih rancu akan hukum mendapatkan harta dari berdakwah, berceramah, berkhuthah, mengajar Al-Qur`an dan hadits, memproduksi kitab-kitab Islami maupun CD audio-visual Islami, mendistribusikannya, dan sebagainya. Dan memang terdapat kontroversi yang cukup kuat.
Oleh karena itu, makalah ini akan berusaha mengupas mengenai upah atas perbuatan taat (Ujroh Ala at-Tho’ah) yang semacam itu dengan melakukan tinjauan baik dari segi syar’i maupun secara sosiologis.
B.      RUMUSAN MASALAH
    Dalam makalah ini akan kami bahas beberapa pokok pembahasan dengan urutan sebagai berikut :
A. IJARAH DALAM ISLAM
  1. Pengertian Ijarah 
  2. Dasar Hukum ijarah
B. AL-UJRAH ALA AT-THO’AH 
  1. Pengertian Al-Ujrah Ala At-Tho’ah 
  2. Hukum dan Pendapat Ulama’ mengenai pengambilan  ujrah Atas Perbuatan  Taat 
  3. Dampak Pengambilan Ujrah (Upah) atas Kegiatan Dakwah atau Pendidikan   Agama yang Berlangsung di Kalangan Masyarakat Terhadap Agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
(AL-UJROH ALA AT-THO’AH)

A.  IJARAH DALAM ISLAM            
 1) Pengertian Ijarah
Secara bahasa, ijarah digunakan sebagai nama bagi al-ajru yang berarti "imbalan terhadap suatu pekerjaan" (الجزاء على العمل) dan "pahala" (الثواب).[1] Dalam bentuk lain, kata ijâraħ juga biasa dikatakan sebagai nama bagi al-ujrah yang berarti upah atau sewa (الكراء). Selain itu, menurut al-Ba'liy, arti kebahasaan lain dari al-ajru tersebut, yaitu "ganti" (العوض), baik ganti itu diterima dengan didahului oleh akad atau tidak.[2]
Secara istilah, ijarah adalah suatu transaksi (akad) yang objeknya adalah manfaat atau jasa yang mubah dalam syariat dan manfaat tersebut jelas diketahui, dalam jangka waktu yang jelas serta dengan uang sewa yang jelas.[3]
Ijarah ada dua macam. Pertama, ijarah dengan objek transaksi benda tertentu semisal menyewakan rumah, kamar kost, menyewakan mobil (rental mobil, taksi, bis kota dll). Kedua, ijarah dengan objek transaksi pekerjaan tertentu semisal mempekerjakan orang untuk membangun rumah, mencangkul kebun dll.
2)  Dasar Hukum Ijarah
Ibn Rusyd[4] menegaskan bahwa semua ahli hukum, baik salaf maupun khalaf, menetapkan boleh terhadap hukum ijâraħKebolehan tersebut didasarkan pada landasan hukum yang sangat kuat yang dapat dilacak dari Al-Qur'an dan Sunnah, antara lain yaitu :
...وإن أردتم أن تسترضعوا أولادكم فلا جناح عليكم إذا سلمتم ما آتيتم بالمعروف...
Artinya: Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut….             (QS. Al-Baqarah :233)
قال إني أريد أن أنكحك إحدى ابنتي هاتين على أن تأجرني ثماني حجج فإن أتممت عشرا فمن عندك وما أريد أن أشق عليك ستجدني إن شاء الله من الصالحين
Artinya: Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik."                    (QS. Al-Qhashash : 27)
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال حجم أبو طيبة رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمر له بصاع من تمر وأمر أهله أن يخففوا من خراجه(رواه البخاري ومسلم وأحمد)
Artinya: "Dari Anas bin Malik ra., ia berkata: Rasulullah SAW berbedakm dengan Abu Thayyibah. Kemudian beliau menyuruh memberinya satu sha' gandum dan menyuruh keluarganya untuk meringankannya dari beban kharâj"                           (HR. Al-Bukhâriy, Muslim, dan Ahmad).
عن عبد الله بن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أعط الأجير أجره قبل أن يجف عرقه (وراه ابن ماجة)
Artinya: "Dari Abdullah bin 'Umar, ia berkata: "Telah bersabda rasullah: "Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering". (HR. Ibn Mâjaħ)
B.  Al-Ujrah Ala At tho’ah
 I) Pengertian Al-Ujrah Ala At tho’ah
Selain disebut ujraħ, upah atau sewa dalam ijâraħ terkadang juga disebut dengan al-musta`jar fih (المستأجر فيه), yaitu;
المال الذي سلمه المستأجر للأجير لأجل إيفاء العمل الذي ألتزمه بعقد الإجارة
Artinya: Harta yang diserahkan pengupah kepada pekerja sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan yang dikehendaki akad ijâraħ.[5]
            Ujroh ala at-tho’ah yaitu upah yang diberikan kepada orang yang disewa atau diburuhkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tergolong dalam kategori ibadah.
Salah satu syarat dari akad ijarah adalah perbuatan yang di-ijâraħ-kan bukan perbuatan yang fardhu ain atau diwajibkan bagi musta'jir (penyewa) sebelum akad dilaksanakan, seperti shalat, puasa dan sebagainya.[6] Hal ini berarti memburuhkan orang untuk melakukan ibadah fardhu ‘ain adalah haram. Akan tetapi Imam Syafi’i membolehkan mengupahkan orang untuk melakukan ibadah haji, dengan syarat orang yang mengupahkan memiliki kesanggupan secara material tapi tidak sanggup secara fisik melakukannya sendiri.[7] Sedangkan status upah atas perbuatan taat atau ibadah yang tergolong sunah adalah yang diperselisihkan hukumnya di kalangan ulama’. Sebagai contoh yang tergolong dalam kategori ini (yang diperselisihkan hukumnya) adalah upah atas muadzin, imam sholat, khotib, pengajar al-qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam, penceramah, penulis buku, dan sebagainya.

2) Hukum dan Pendapat Ulama’ mengenai pengambilan  ujrah Atas Perbuatan  Taat
Ada perbedaan dalam klasifikasi ulama’ soal upah atas perbuatan taat, khususnya yang berhubungan dengan dakwah Islam. Sebuah disertasi di UIN tentang upah dai ini telah ditulis oleh Dr Harjani Hefni (2010) dan dia membaginya ke dalam dua kategori. Upah kerja dakwah yang disepakati kebolehannya dan  ada yang diperselisihkan oleh ulama’.Yang diperbolehkan adalah seperti amil zakat, kadi (hakim),bahkan penerima ganimah. Hal seperti ini tentu dinilai sangat patut karena memang ada dalil Al-Quran dan hadisnya. Namun, ada juga yang upahnya diperselisihkan, seperti muadzin, imam masjid, khotib, guru mengaji, guru baca al-quran/pembaca doa, pengurus jenazah, penceramah, dan penulis buku. Ini diperselisihkan karena tidak ada penjelasan Al-Quran dan hadits secara qat’i. Dengan demikian, memerlukan istinbath hukum. Tentu masing-masing ulamamempunyai pandangan berbeda-beda. Sebagian Ulama’ mengharamkan, sebagian yang lain  menghukumi makruh, ada pula yang memperbolehkan.[8]
 Ulama’ yang memberi hukum haram ataupun makruh berdalil bahwa ketaatan tersebut merupakan perbuatan dan perintah khusus untuk setiap umat Islam, sehingga mengambil upah dalam perbuatan taat atau ibadah hukumnya adalah haram. Ulama’ yang mengharamkan penerimaan upah bagi seorang muadzin berdalil pada sabda Nabi:
عن عثمان بن أبي العاص قال إن من آخر ما عهد إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن اتخذ مؤذنا لا يأخذ على أذانه أجرا (رواه الترمذي وابن ماجة)
Artnya :”Dari Utsman bin Abi al-'Ash, ia berkata: "Sesungguhnya di antara persoalan terakhir yang dipesankan Nabi SAW adalah: 'Angkatlah mu'azzin, tapi jangan ia mengambil upah atas azannya". (HR. al-Turmudziy dan Ibn Mâjaħ).
            Ibn 'Abidin[9] menyebutkan bahwa ulama’ mutaakhirin dari kalangan Hanafiyyah membolehkan memberi upah dalam pekerjaan yang berhubungan dengan ketaatan seperti itu. Ulama’ Malikiyyah memandang perbuatan seperti ini sebagai perbuatan makruh. Ulama’ Hanabilah[10] terbagi menjadi dua bagian, sebagian menyatakan tidak boleh memberi upah perbuatan seperti ini, tetapi sebagian lain menganggap boleh, di antaranya adalah Abu Ishaq bin Syaqil.
Adapun mengenai hukum  menerima upah  atas pengajaran Al-Qur’an atau ilmu-ilmu Islam maupun dakwah Islam di kalangan Ulama’ juga terjadi Perbedaan pendapat (Ikhtilaf). Ada yang menetapkan boleh, ada juga yang menetapkan tidak boleh.
Argumen - argumen  syar’i  yang digunakan oleh pihak yang menetapkan  haram  menerima atau mengambil upah dalam mengajarkan Al-Qur’an, ilmu-ilmu agama Islam dan dakwah Islam antara lain[11] :

Satu. QS. Asy Syuara’ ayat 109 :
Artinya : “ dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; Upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam”.
Dua. QS. Yunus ayat 72 :
Artinya: “Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku Termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)".
Tiga. Nabi Muhammad bersabda:
من َأخذعَلى تعليم اْلُقرآن َقوسا َقلَّده اللهُ َقوسا من نَار يوم اْلقيامة
Artinya:"Barangsiapa mengambil sebuah busur saja sebagai upah dari mengajarkan Al-Qur`an, niscaya Allah akan mengalungkan kepadanya busur dari api neraka pada hari qiyamah."
(Hadits ini shahih diriwayatkan dalam Sunan Al-Baihaqi 6/126. Dishahihkan Al-‘Allamah Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 256.)
Empat. 'Imran bin Hushain melihat seorang qari` sedang membaca Al-Qur`an lalu meminta upah. Beliau lantas mengucapkan istirja', kemudian berkata: Rasulullah bersabda”:
من َقرَأ الُقرآن َفْليسَأل اللهَ ِبه َفِإنه سيجيءُ َأْقوام يقرؤون اْلُقرآن يسَأُلون ِبه الناس
Artinya:"Barangsiapa membaca Al-Qur`an, hendaklah ia meminta pahalanya kepada Allah. Sesungguhnya akan datang beberapa kaum yang membaca Al-Qur`an, lalu meminta upahnya kepada manusia."
(Hadits ini shahih li ghairihi diriwayatkan dalam Sunan At-Tirmidzi no. 2917; Musnad Ahmad 4/432-433,436,439; Syarh As-Sunnah, Al-Baghawi no. 1183. Dinyatakan shahih li ghairihi oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 257).
Lima. Rasulullah bersabda:
تعلَّموا اْلُقرآن وسُلوا اللهَ ِبه اْلجنَة  َقبل َأن يتعلَّمه َقوم يسَأُلون ِبه الدنيا َفإنَّ اْلُقرآن يتعلَّمه َثلاَثٌة رجل يباهي ِبه ورجلٌ يستْأ ُكل ِبه ورجل يقرأه للهِ
Artinya:"Pelajarilah Al-Qur`an, dan mintalah surga kepada Allah sebagai imbalannya. Sebelum datang satu kaum yang mempelajarinya dan meminta materi dunia sebagai imbalannya. Sesungguhnya ada tiga jenis orang yang mempelajari Al-Qur`an. Orang yang mempelajari Al-Qur`an untuk membangga-banggakan diri dengannya; orang yang mempelajarinya untuk mencari makan; orang yang mempelajarinya karena Allah semata."
            Sedangkan dalil pihak yang mengatakan halalnya menerima dan mengambil upah dari mengajarkan Islam di antaranya:
Satu. Nabi Muhammad bersabda:
 إن أحق ما َأخذتم عَليه َأجرا كتاب اللهِ
Artinya: "Sesungguhnya perkara yang paling berhak kalian ambil upah darinya adalah Kitab Allah." [Shahih: Shahih Al-Bukhari no. 5737]
Dua. Nabi Muhammad pernah menikahkan seorang pria dengan mahar hafalan Al-Qur`annya.
“Dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi, “Suatu ketika seorang wanita datang kepada Rasulullah, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan diriku kepadamu,” Lalu beliau memandang perempuan itu dengan penuh perhatian, kemudian menundukkan kepalanya. Setelah perempuan itu mengerti bahwa beliau tidak ingin menikahinya, maka ia pun duduk.
Kemudian salah seorang dari sahabat berdiri, dan berkata, “Ya Rasulullah! jika engkau tidak ingin menikahi perempuan itu, maka nikahkanlah dia dengan saya.” Lalu beliau bertanya, "Apakah kamu memiliki sesuatu sebagai mahar (maskawin)?” laki-laki itu menjawab, "Demi Allah, saya tidak punya, wahai Rasulullah!" Rasulullah berkata, "Pergilah kepada keluargamu lalu carilah apakah ada sesuatu yang bisa kamu jadikan sebagai mahar.” Laki-laki itu kemudian pergi dan kembali lagi, dia berkata, “Demi Allah, aku tidak menemukan sesuatu pun untuk mahar.” Rasulullah berkata, “Carilah meskipun hanya berupa cincin besi.”   
Laki-laki itu pergi lagi, lalu kembali, seraya berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah. Saya tidak menemukan sesuatu pun walaupun sebuah cincin besi, tetapi saya hanya memiliki kain sarung ini. (kata Sahl, ia tidak memiliki pakaian bagian atas), separuhnya bisa aku berikan kepada wanita itu sebagai mahar.” Rasulullah bertanya, “Bagaimana kamu bisa menggunakan kain sarungmu itu? Jika kamu memakainya maka perempuan itu tidak bisa memakainya, dan jika dia memakainya kamu tidak bisa memakainya.”
Laki-laki itu duduk. Setelah lama duduk kemudian dia berdiri. Rasulullah melihat dia berbalik, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggilnya. Ketika dia datang, maka Rasulullah bertanya, Apa yang kamu miliki (hafal) dari Al-Qur'an?” Dia menjawab, “Aku hafal surah ini dan itu.” (Dia menghitung-hitungnya). Lalu Rasulullah berkata, “Kamu dapat menghafalnya di luar kepala?” Dia berkata, “Ya.” Kemudian Rasulullah berkata, “Pergilah, sesungguhnya aku telah menikahkanmu dengan wanita itu dengan apa yang kamu hafal dari Alqur'an.”
(Hadits ini shahih diriwayatkan dalam Shahih Muslim. Dishahihkan Al-Albani dalam Mukhtashar Shahih Muslim no. 824.)
Dari dua pendapat ini, yang rajih/kuat/benar karena dalilnya dan istinbath-nya (penyimpulan dalilnya) lebih rasional, adalah pendapat halalnya menerima dan mengambil upah dari mengajarkan Islam, namun tetap diharamkan meminta maupun mengharap upah atas mengajarkan Islam atau membaca (melantunkan) Al-Qur`an.[12]
Setelah menafsirkan ayat ke 20 dan 21 dari surah Yasin, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin berkata, "Jika mengajar, yang seorang itu membutuhkan waktu, tenaga, fikiran, kelelahan, tidak apa-apa dia mengambil upah dengan dasar hadits Nabi, "Sesungguhnya perkara yang paling berhak kalian ambil upah darinya adalah Kitab Allah." Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wa Al-Mafaqqih 2/347, (yang ditahqiq 'Adil bin Yusuf Al-‘Azazi) menjelaskan, kalau seorang da'i tidak mempunyai mata pencaharian yang memadai, dan waktunya habis untuk mengajar dan berda'wah, maka diperbolehkan menerima upah. Dan kepada ulil amri (penguasa, pemerintah) selayaknya memberikan imbalan yang setimpal, karena dia mengajarkan kaum muslimin.

3) Dampak Pengambilan Ujrah (Upah) atas Kegiatan Dakwah atau Pendidikan Agama yang Berlangsung di Kalangan Masyarakat Terhadap Agama Islam.
Para ulama dahulu (ulama mutaqaddimin) mengharamkan pengambilan upah dari mengajar Al-Quran dan ilmu agama. Pengharaman ini didasarkan kepada firman Allah : “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan dari keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.” (QS Al Baqarah 159).
Ayat di atas memerintahkan agar ilmu itu disebarkan dan tidak boleh disembunyikan, sehingga pengambilan upah atasnya adalah haram. Namun para ulama mutaakhirin menghalalkan pengambilan upah terhadap pekerjaan mengajar syariat Allah. Apa alasan mereka ? Mereka melihat bahwa manusia sudah mulai memandang ringan dan meremehkan pendidikan agama, serta mengabaikannya. Mereka senantiasa menyibukkan diri dengan urusan-urusan dunia serta hanyut dengan kemaksiatan dan kemewahan. Kesibukan ini sudah tentu akan memalingkan mereka dari mempelajari Kitabullah dan ilmu-ilmu agama. Ini akan mengakibatkan pupusnya penghafal-penghafal Al-Quran dan lenyapnya ilmu-ilmu agama dari dada orang Islam, secara perlahan-lahan. Apalagi upaya musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam (baik dari dalam maupun dari luar) sudah sangat mengkhawatirkan. Dengan situasi begini, para ulama mutakhirin memfatwakan “boleh” mengambil upah/gaji dari pekerjaan mengajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama. Malahan sebagian dari mereka mengatakan bahwa mengambil upah/gaji dari mengajar agama adalah wajib bagi para pemelihara ilmu agama.[13]
As-Shabuni berpendapat, ilmu-ilmu syariat hampir saja tidak memperoleh perhatian kendati fatwa ulama' mutaakhirin tentang bolehnya mengambil upah mengajar itu telah diambilnya. Apalagi kalau kita mengambil pandangan ulama mutaqaddimin yang melarang pengambilan pelbagai macam upah(mengajar)? Dengan begitu maka tidak akan ada lagi orang yang mengajarkan (ilmu-ilmu agama dsb) dan yang belajar. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Meskipun menerima dan mengambil harta dari mengajarkan Islam hukumnya halal, akan tetapi dalam mengajarkan Islam harus ikhlas hanya karena Allah dan hanya berharap upah dari Allah. Dengan dihalalkannya perkara ini, perkara ini menjadi ujian keikhlasan para juru da'wah. Bisa jadi sang juru dawah bisa lulus dari ujian ini. Namun ada pula juru da'wah yang menjadi tidak ikhlas karena diperbolehkannya mengambil harta dari mengajarkan Islam. Apalagi di zaman seperti ini, zaman yang kata orang susah mencari uang. Maka "profesi"
ustadz lah yang menjadi cara jitu mendapatkan harta dengan cara yang mudah. Padahal beramal dengan tujuan mendapatkan kenikmatan dunia hukumnya haram.
Nabi Muhammad bersabda:
من تعلَّم عْلما مما يبتغى ِبه وجه اللَّه عز وجلَّ  َلا يتعلّمه ِإلَّا ليصيب به عرضا من الدنيا  َلم يجد عرف اْلجنة يوم اْلقيامة يعِني ريحها
Artinya :"Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya ia tuntut semata-mata karena agar bisa melihat wajah Allah, namun ternyata ia menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka dia tidak akan dapat mencium wanginya surga pada hari qiyamah."
(Hadits ini shahih diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud no. 3664; Musnad Ahmad 2/338;Sunan Ibnu Majah no. 252; Al-Mustadrak Al-Hakim 1/85).
Ibnu Jama'ah Al-Kinani menasehatkan, "Hendaknya seorang yang berilmu membersihkan ilmunya dari menjadikannya sebagai jalan mencapai tujuan-tujuan duniawi, baik untuk mencari kehormatan, harta, ketenaran, atau merasa lebih hebat dari teman-temannya."[14]
Selanjutnya, bagaimana mengenai sebagian orang yang diminta untuk ceramah agama di suatu tempat lalu ia meminta/tawar-menawar upahnya, kalau setuju, maka jadilah ceramah itu. Kalau tidak, maka disuruh mencari ustadz lain yang harganya cocok? Tentu saja perbuatan seperti itu sangat tidak etis dilakukan oleh seorang juru dakwah. Sebab da’wah tidak boleh dikaitkan dengan upah dan honor. Da’wah adalah kewajiban yang ada di pundak setiap muslim, baik da’wah dalam bentuk ceramah atau dalam bentuk-bentuk yang lain. Seorang penceramah yang memasang tarif tertentu kepada pengundangnya, tentu saja nilai keberkahannya kurang. Bisa menimbulkan kebingungan di mata orang, apakah penceramah ini berniat untuk dawah atau mau cari uang? Apalagi sampai menolak undangan ceramah hanya semata-mata karena honor yang dijanjikan tidak disepakati, sampai disuruh mencari ustadz lainnya, maka sangat terasa sekali betapa semua itu dikomersilkan. Seolah jasa seorang penceramah agama itu disamakan dengan jasa penghibur, penyanyi, pelawak dan sejenisnya.
Lucunya lagi, terkadang ada semacam pentarifan nilai amplop di kalangan mereka. Kalau ustadz yang diundang itu lumayan ngetop, karena sering muncul di TV misalnya, maka amplopnya harus lebih besar, tapi kalau ustaznya ‘anonmim’, tidak terkenal, maka amplopnya bisa jadi ala kadarnya. Terkadang ukurannya bukan lagi level ilmu dan kemampuannya, tetapi ngetop tidaknya sang ustadz. Dan bisa jadi ustadz itu malah dari kalangan mereka yang dari segi ilmunya sangat sedikit, tapi orang-orang terkadang tidak peduli dengan semua itu. Karena semangatnya mungkin bukan lagi menimba ilmu, tapi semangat popularitas, gengsi dan sejenisnya. Misalnya, kalau suatu masjid bisa mendatangkan ustaz ‘x’ yang sedang ngetop, maka ‘gengsi’ pengurus masjid itu akan naik. Walaupun untuk itu mereka harus merelakan harga amplop yang jutaan rupiah.
Memang para ustadz itu umumnya tidak pasang tarif, tetapi ada juga satu dua yang melakukan hal itu meski tidak secara langsung. Terutama yang sudah go public tadi, mereka bahkan menggunakan semacam ‘manager’ bak para artis mau diundang ke suatu pertunjukan. Nah, para ‘manager’ inilah yang menentukan nilai itu meski pun juga tidak sevulgar para selebriti. Akhirnya jadilah profesi ustadz ini layaknya para artis yang ‘pasang tarif’ untuk ceramahnya, bermobil mewah, rumah megah, harta bertumpuk dan segenap kemewahan lainnya. Tentu saja prilaku ini merupakan hak masing-masing orang, karena pada dasarnya apa yang dimilikinya itu sah, karena bukan harta hasil curian. Semua itu merupakan jerih payah mereka juga.
Kalaupun  ada yang perlu dikritisi, barangkali semangat kebersamaan dan kesederhanaan mereka, Karena mereka hidup di negeri yang mayoritas penduduknya sangat miskin dan hampir mati kelaparan. Seyogyanya penampilan mereka mencerminkan kesederhanaan dan keprihatinan juga. Karena harta yang banyak dan berlimpah itu pastilah juga akan dimintai pertanggung-jawaban di akhirat kelak.
Tapi perlu dipahami bahwa fenomena itu tentu saja tidak bisa digeneralisir, bahwa setiap ustadz pasti berperilaku demikian. Masih banyak para ustadz lain yang bersahaja, sederhana, rizqinya hanya ngepas buat makan saja, kemana-mana naik bus kota, hujan kehujanan dan panas kepanasan. Padahal bisa jadi ilmu yang mereka miliki jauh lebih tinggi dan lebih dalam dari pada ustadz yang ber-BMW. Tapi semua kita kembalikan saja kepada Allah. Dan buat para ustadz yang sudah lumayan ‘gemuk’, mintalah fatwa kepada nurani anda sendiri. Karena nurani anda itu jauh lebih jujur dan lebih bisa anda dengar ketimbang melalui mulut orang lain.[15]

(Allahu A’lam Bi As-Showaab)



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Ujroh ala at-tho’ah yaitu upah yang diberikan kepada orang yang disewa atau diburuhkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tergolong kategori ibadah. Status upah atas perbuatan taat atau ibadah yang tergolong sunah adalah yang diperselisihkan hukumnya di kalangan ulama’. Sebagai contoh yang tergolong dalam kategori ini (yang diperselisihkan hukumnya) adalah upah atas muadzin, imam sholat, khotib, pengajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam, penceramah, penulis buku, dan sebagainya. Meskipun jumhur ulama’ memperbolehkan mengambil upah atas perbuatan taat, khususnya yang berhubungan dengan dakwah islam, akan tetapi dalam mengajarkan Islam harus ikhlas hanya karena Allah dan hanya berharap upah dari Allah. Dengan dihalalkannya perkara ini, perkara ini menjadi ujian keikhlasan para juru da'wah. Bisa jadi sang juru da'wah bisa lulus dari ujian ini. Namun ada pula juru da'wah yang menjadi tidak ikhlas karena diperbolehkannya mengambil harta dari mengajarkan Islam.
B.    

REFERENSI

Download File nya disini,

[1]Muhammad bin Mukram bin Manzhur, Lisan al-'Arab, (Beirut: Dar Shadir), Juz 4, hal. 10
[2] Al-Sayyid al-Bakriy bin al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathiy, I'anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr), Juz 3, hal. 109
[4] Muhammad bin Ahmad bin Muhamamd bin Rusyd , Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dâr al-Fikr), Juz 2, hal. 165-166
[5] Jam’iyyah, Al-Majallah, hal.80
             [6] Ahmad bin 'Ali al-Raziy al-Jashshash, al-Jami' li Ahkâm al-Qur`ân, (Beirut: Dâr Ihya` al-Turats al-'Arabiy, 1405 H), Juz 3, hal. 164
[7] Muhammad bin Idris al-Syafi'iy, al-Umm, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1393 H), Juz 2, hal. 124

[9] Muhamamd Amin (Ibn 'Abidin), Hasyiyah Radd al-Mukhtar 'Ala al-Durr al-Mukhtar (Hasyiyah Ibn 'Abidin), (Beirut: Dar al-Fikr), Juz 7, hal. 265
[10] Ahmad bin 'Abd al-Halim bin Taymiyyah al-Haraniy, Syarh al-'Umdah, (Riyad: Maktabah al-'Abikan, 1413 H), Juz 2, h. 240
[11] Brilly Rasheed “Haramkah upah dakwah?”, QUANTUMFIQIH.WORDPRESS.COM. hal.1
[12] Brilly Rasheed.Op.Cit.hal.5
[14] Ibnu jama’ah Al-KinaniTadzkirah As-Sami' wa Al-Mutakallim fi Adab Al-'Alim wa Al-Muta'alim hal.48
[15] http://www.rumahfiqih.com/ust/e2.php?id=1165488579&title=dakwah-meminta-upah

3 comments:

  1. Masya allah la quwwata illa billah. bagus, semoga saya teman saudar, bisa mengambil pelajaran dari isi tulisan ini. Masyarakat pun mendapat pendidikan khususnya dai dan para pengajar agama. Mga allah mencatatnya sebagai amal ikhlas yg diterima Allah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jazakumullahu khoiran katsiran, pencerahan buat saya. Moga tulisannya ditimbang sbg amal saleh yang diterima Allah SWT

      Delete
    2. aaaminn. semoga bermanfaat. ^_^

      Delete